Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi

zaman jepangJepang berusaha untuk mendapatkan dan menguasai sumber-sumber bahan mentah untuk industri perang. Jepang membagi rencananya dalam dua tahap.Tahap penguasaan, yakni menguasai seluruh kekayaan alam termasuk kekayaan milik pemerintah Hindia Belanda.Tahap penyusunan kembali struktur ekonomi wilayah dalam rangka memenuhi kebutuhan perang.Sesuai dengan tahap ini maka pola ekonomi perang direncanakan bahwa setiap wilayah harus melaksanakan autarki. Autarki, artinya setiap wilayah harus mencukupi kebutuhan sendiri dan juga harus dapat menunjang kebutuhan perang.

Romusa mempunyai persamaan dengan kerja rodi/kerja paksa pada zaman Hindia Belanda, yakni kerja tanpa mendapatkan upah.Memasuki tahun 1944 tuntutan kebutuhan pangan dan perang makin meningkat.Pemerintah Jepang mulai melancarkan kampanye pengerahan barang dan menambah bahan pangan secara besar-besaran yang dilakukan oleh Jawa Hokokai melalui nagyo kumiai (koperasi pertanian), dan instansi pemerintah lainnya. Pengerahan bahan makanan ini dilakukan dengan cara penyerahan padi atau hasil panen lainnya kepada pemerintah. Dari jumlah hasil panen, rakyat hanya boleh memiliki 40 %, 30 % diserahkan kepada pemerintah, dan 30 % lagi diserahkan lumbung untuk persediaan bibit.

Tindakan pemerintah ini menimbulkan kesengsaraan. Penebangan hutan (untuk pertanian) menyebabkan bahaya banjir, penyerahan hasil panen dan romusa menyebabkan rakyat kekurangan makan, kurang gizi, dan stamina menurun.Akibatnya, bahaya kelaparan melanda di berbagai daerah dan timbul berbagai penyakit serta angka kematian meningkat tajam. Bahkan, kekurangan sandang menyebabkan sebagian besar rakyat di desa-desa telah memakai pakaian dari karung goni atau “bagor”, bahkan ada yang menggunakan lembaran karet.

Di samping menguras sumber daya alam, Jepang juga melakukan eksploitasi tenaga manusia. Hal ini akan membawa dampak terhadap mobilitas sosial masyarakat Indonesia. Puluhan hingga ratusan ribu penduduk desa yang kuat dikerahkan untuk romusa membangun sarana dan prasarana perang, seperti jalan raya, jembatan, lapangan udara, pelabuhan, benteng bawah tanah, dan sebagainya.Mereka dipaksa bekerja keras (romusa) sepanjang hari tanpa diberi upah, makan pun sangat terbatas.Akibatnya, banyak yang kelaparan, sakit dan meninggal ditempat kerja.Untuk mengerahkan tenaga kerja yang banyak, di tiap-tiap desa dibentuk panitia pengerahan tenaga yang disebut Rumokyokai.

Rumokyokai memiliki tugas yakni menyiapkan tenaga sesuai dengan jatah yang ditetapkan.Untuk menghilangkan ketakutan penduduk dan menutupi rahasia itu maka Jepang menyebut para romusa dengan sebutan prajurit ekonomi atau pahlawan pekerja. Menurut catatan sejarah, jumlah tenaga kerja yang dikirim ke luar Jawa, bahkan ke luar negeri seperti ke Burma, Malaya, Vietnam, dan Mungthai/Thailand mencapai 300.000 orang. Pada bulan Januari 1944, Jepang memperkenalkan sistem tonarigumi (rukun tetangga). Tonarigumi merupakan kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri atas 10–20 rumah tangga.Maksud diadakannnya tonarigumi adalah untuk mengawasi penduduk, mengendalikan, dan memperlancar kewajiban yang dibebankan kepada mereka.Dengan adanya perang yang makin mendesak maka tugas yang dilakukan Tonarigumi adalah mengadakan latihan tentang pencegahan bahaya udara, kebakaran, pemberantasan kabar bohong, dan mata-mata musuh.

Pendidikan

Zaman pendudukan Jepang, pendidikan di Indonesia mengalami kemerosotan drastis, jika dibandingkan zaman Hindia Belanda.Jumlah sekolah dasar (SD) menurun dari 21.500 menjadi 13.500 dan sekolah menengah dari 850 menjadi 20.Oleh Jepang sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan dijadikan tempat indoktrinasi. Melalui pendidikan dibentuk kader-kader untuk memelopori dan melaksanakan konsepsi Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Sistem pengajaran dan struktur kurikulum ditujukan untuk keperluan Perang Asia Pasifik. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digunakan di semua sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran utama, sedangkan bahasa Jepang diberikan sebagai mata pelajaran wajib. Surat kabar dan radio juga menggunakan bahasa Indonesia sehingga mempercepat penyebarluasan bahasa Indonesia. Begitu juga papan nama toko, nama rumah makan, perusahaan dan sebagainya yang menggunakan bahasa Belanda harus diganti dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jepang. Dengan meluasnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi maka akan mempercepat dan mempertebal semangat kebangsaan menunju integrasi bangsa. Bahasa Indonesia adalah salah satu unsur kebudayaan sehingga dengan digunakannya bahasa Indonesia secara luas akan mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu salah satu dampak positif dari penjajahan Jepang adalah bahasa Indonesia bisa berkembang dengan pesat.

Pada tanggal 20 Oktober 1943 atas desakan dari beberapa tokoh Indonesia didirikanlah Komisi (Penyempurnaan) Bahasa Indonesia.Tugas Komisi adalah menentukan terminologi, yaitu istilah-istilah modern dan menyusun suatu tata bahasa normatif dan menentukan kata-kata yang umum bagi bahasa Indonesia.Di bidang sastra, pada zaman Jepang juga berkembang baik.Hasil karya sastra, seperti roman, sajak, lagu, lukisan, sandiwara, dan film. Agar hasil karya sastra tidak menyimpang dari tujuan Jepang, maka pada tanggal 1 April 19943 di Jakarta didirikan Pusat Kebudayaan dengan nama Keimin Bunko Shidosho. Hasil karya sastra yang terbit, seperti Cinta Tanah Air karya Nur Sutan Iskandar, Palawija karya Karim Halim, Angin Fuji karya Usmar Ismail. Gubahan untuk drama, seperti Api dan Cintra karya Usman Ismail; Topan di Atas Asia dan Intelek Istimewa karya El Hakim (dr. Abu Hanifah). Mengenai seni musik, komponis C. Simandjuntak berhasil menciptakan lagu Tumpah Darahku dan Maju Putra-Putri Indonesia.

Birokrasi dan Militer

Pada pertengahan tahun 1943, kedudukan Jepang dalam Perang Pasifik mulai terdesak, maka Jepang memberi kesempatan kepada bangsa Indonsia untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan negara. Untuk itu pada tanggal 5 September 1943, Jepang membentuk Badan Pertimbangan Karesidenan (Syu Sangi Kai) dan Badan Pertimbangan Kota Praja Istimewa (Syi Sangi In).Banyak orang Indonesia yang menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan, seperti Prof. Dr. Husein Jayadiningrat sebagai Kepala Departemen Urusan Agama (1 Oktober 1943) dan pada tanggal 10 November 1943 Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A. Surio masing-masing diangkat menjadi Kepala Pemerintahan (Syikocan) di Jakarta dan Banjarnegara.Di samping itu, ada enam departemen (bu) dengan gelar sanyo, seperti berikut.

  1. Soekarno, Departemen Urusan Umum (Somubu);
  2. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid, Biro Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Dalam Negeri (Naimubu-Bunkyoku);
  3. Mr. Supomo, Departemen Kehakiman (Shihobu);
  4. Mochtar bin Prabu Mangkunegoro, Departemen Lalu Lintas (Kotsubu);
  5. Muh. Yamin, Departemen Propaganda (Sendenbu);
  6. Prawoto Sumodilogo, Departemen Ekonomi (Sangyobu).

Dengan demikian masa pendudukan Jepang di Indonesia membawa dampak yang sangat besar dalam birokrasi pemerintahan.Situasi Perang Asia Pasifik pada awal tahun 1943 mulai berubah.Sikap ofensif Jepang beralih ke defensif.Jepang menyadari bahwa untuk kepentingan perang perlu dukungan dari penduduk masing-masing daerah yang didudukinya.Itulah sebabnya, Jepang mulai membentuk kesatuan-kesatuan semimiliter dan militer untuk dididik dan dilatih secara intensif di bidang militer.Di Indonesia ada beberapa kesatuan pertahanan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang. Organisasi militer zaman Jepang antara lain Heiho dan Peta. Sedangkan organisasi semi militer antara lain Kaibodan, Seinendan, Fujinkai dan lain sebagainya. Adanya pelatihan militer pada zaman pendudukan Jepang, ternyata nanti bermanfaat saat mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

One Comment
  1. Avatar

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *