Trisakti Ajaran Bung Karno
|Pemerintahan Jokowi-JK ingin kembali menghidupkan ajaran mantan presiden Soekarno tentang Trisakti. Ajarran tentang Trisakti diungkapkan oleh Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1964 yang berjudul “Tahun Vivere Pericoloso” atau sering dikenal dengan akronim “Tavip” Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia antara lain mengungkapkan tiga paradigma yang akan mampu membangkitkan Indonesia menjadi bangsa yang besar, baik secara politik maupun ekonomi. Konsep tiga paradigma tersebut dinamakan dengan “Trisakti” atau tiga kekuatan yang berfungsi sebagai kesaktian bangsa yaitu Berdaulat dalam politik, Berdikari dalam ekonomi, dan Berkepribadian dalam kebudayaan
Trisakti yang dimaksudkan Bung Karno adalah, pertama, “Berdaulat dalam Politik”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa Indonesia pernah dijajah oleh bangsa asing berabad-abad lamanya. Tiga ratus lima puluh tahun dalam kolonialisme Belanda bukanlah waktu yang singkat. Pada kondisi bangsa berada dalam cengkeraman kolonialisme, maka kemerdekaan tidak dimiliki oleh bangsa kita dan pada saat yang sama tidak ada lagi kedaulatan politik karena semua sektor telah diintervensi oleh bangsa lain. Padahal sebuah bangsa memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri. Sehingga Bung Karno menegaskan bahwa kedaulatan politik bangsa Indonesia sudah mutlak untuk diwujudkan dengan menolak segala bentuk intervensi bangsa lain. Bung Karno menyatakan, “nation building” dan “character building” harus diteruskan sehebat-hebatnya demi menunjang kedaulatan politik kita.
Kedua, “Berdikari dalam Ekonomi”. Bung Karno mengingatkan kita betapa bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang kaya dengan sumber daya alam (SDA) baik di daratan maupun di laut. Akan tetapi kekayaan SDA ini belum mampu membangkitkan ekonomi nasional dikarenakan tingkat ketergantungan terhadap pranata ekonomi asing masih sangat tinggi. Dengan melihat fakta ini maka Bung Karno mengemukakan bahwa penting sekali bangsa Indonesia untuk “berdiri di atas kaki sendiri” (berdikari) dalam mengatur perekonomian demi kesejahteraan rakyat. Ketergantungan yang tinggi terhadap ekonomi bangsa lain menurut Bung Karno tidak akan menjamin kesejahteraan rakyat, bahkan justru sebaliknya berpotensi menimbulkan resesi ekonomi nasional yang berkepanjangan. Apa yang menjadi kekhawatiran Bung Karno ini ternyata terbukti, terutama ketika bangsa Indonesia pada era Orde Baru mulai berafiliasi dengan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan lain-lainnya, sehingga bangsa Indonesia tidak bisa menghindarkan diri dari krisis ekonomi yang dampaknya terasa hingga hari ini.
Ketiga, “Berkepribadian dalam Kebudayaan”. Aspek budaya bagi Bung Karno sama pentingnya dengan aspek lainnya. Bangsa Indonesia harus menghormati budaya warisan nenek moyang dan menghargai nilai-nilai luhur kebudayaan di masyarakat. Karakter dan kepribadiaan budaya positif Nusantara haruslah dijaga dan dilestarikan. Misalnya budaya gotong-royong yang melambangkan kolektifitas sebuah komunitas yang guyub, maupun berbagai karya budaya adiluhung yang mewarnai dunia seni Indonesia.