Mesir pada masa Pemerintahan Gamal Abdul Nasser

gamal-abdul-nasserPada tahun 1952, terjadi kudeta militer yang dikenal dengan Revolusi 1952. Revolusi ini digerakkan oleh sebagian perwira dengan membentuk kelompok yang bernama Dhubbath Al-Ahrar (Dewan Jenderal) di bawah pimpinan Gamal Abdel Nasser untuk merubah dan memperbaiki kondisi di Mesir. Tanggal 23 Juli 1952 pasukan Dhubbath Al-Ahrar bergerak menguasai pusat-pusat pemerintahan dan sarana-sarana vital yang lain, serta mengepung istana Abdeen. Kemudian mengeluarkan siaran radio yang mengumumkan pengambilalihan kekuasaan di Mesir. Pada saat itu Mesir diperintah oleh Raja Farouk yang naik tahta sejak 1936. Raja Farouk dipaksa menyerahkan kekuasaan kepada anaknya, Fuad II. Namun karena Fuad belum cukup dewasa, maka pemerintahan diserahkan kepada junta (dewan pemerintahan) yang dibentuk oleh Dhubbath Al-Ahrar, dan mengumumkan berdirinya sistem negara republik pada tanggal 18 Juni 1953, dan jenderal Muhammad Naguib terpilih sebagai presiden pertama sampai tahun 1954. Empat hari setelah kudeta, Dhubbath Al-Ahrar mengganti namanya menjadi RCC (Revolution Command Council).

Pada masa pemerintahan Naguib, terjadi berbagai kebijakan yang kurang popular. Pertama, Naguib menyatakan pada bulan Desember 1952 bahwa konstitusi Mesir tahun 1923 tidak berlaku. Kedua, pada bulan Januari tahun 1953, Naguib melarang semua partai politik di Mesir. Ketiga, Naguib menghapus sistem monarki Mesir pada tanggal 18 Juni 1953. Keempat, sebagai akibat penghapusan sistem monarki, perdana menteri Mohammad Naguib memproklamasikan Mesir sebagai Negara republik yang mendudukkan Naguib sebagai presiden atau kepala Negara sekaligus sebagai perdana menteri atau kepala pemerintahannya, sedangkan Nasser menjabat sebagai deputi perdana menteri dan menteri dalam negeri. Rezim militer Mesir yang berpusat pada dwi-tunggal Naguib dan Nasser memperlihatkan tanda-tanda pertarungan kekuasaan di antara keduanya.

Tanda-tanda pertarungan kekuasaan tersebut terlihat ketika bulan Februari 1954 ketika RCC memaksa Naguib untuk mengundurkan diri dengan suka rela dari dunia politik Mesir. Tekanan ini berkahir pada bulan April 1954 ketika naguib diangkat sebagai presiden dan posisinya sebagai perdana menteri digantikan oleh Nasser. Perdana menteri Gamal Abdel Nasser memasukkan sebagian besar perwira-perwira mantan Dhubbath Al-Ahrar ke dalam kabinetnya. Pada bulan November 1954 pertarungan politik tersebut dimenangkan oleh Nasser ketika jabatan presiden Mesir yang dipegang Naguib sejak Juni 1953 itu, harus diserahkan kepada Nasser atas desakan RCC. Muhammad Naguib akhirnya mundur dari jabatannya setelah diturunkan melalui gerakan yang dilakukan oleh Gamal Abdel Nasser pada tahun 1954.

Reformasi politik domestik yang dilakukan Nasser adalah dengan mengeluarkan konstitusi baru yang kemudian disetujui oleh rakyat melalui referendum nasional yang diadakan pada tanggal 23 Juni 1956. Selain itu, Nasser fjuga melakukan reformasi ekonomi dengan menjalankan retribusi tanah, promosi pembangunan industri dan perluasan kesejahteraan sosial. Dengan diberlakukannya konstitusi Mesir tahun 1956 tersebut, maka Nasser membubarkan RCC pada bulan Juli 1956. Walaupun RCC sudah dibubarkan, Mesir tetap diperintah oleh rezim militer di bawah kepemimpinan tunggal Nasser yang sah karena terpilih dari suara rakyat Mesir sendiri, walaupun hanya melalui referendum setelah diputuskan sebelumnya oleh kongres partai yang dibentuknya yaitu ASU (Arab Socialist Union). Dengan ketiadaan partai politik yang lain, kelompok militer merupakan aktor tunggal dalam perpolitikan di Mesir di bawah kepemimpinan Nasser.

Presiden Gamal Abdel nasser mendapat prestise yang luar biasa di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri, Nasser dikukuhkan sebagai bapak pendiri Mesir Modern. Sebagai akibat ketiadaan pendukung politik utamanya ketika RCC dibubarkan, Nasser membentuk ASU sebagai satu-satunya partai politik yang diakui pemerintah. Pembentukan ASU dimaksudkan untuk menggiring seluruh komponen masyarakat Mesir baik pelaku ekonomi, politik dan sosial ke dalam satu barisan front nasional yang dinamakan ASU. Dengan demikian ASU digunakan sebagai alat politik presiden Nasser untuk menjalankan kebijakannya terutama pengawalan arah demokrasi yang akan dieksperimenkan kepada bangsa Mesir. Sementara itu, prestise luar negerinya dicapai berkaitan dengan dunia Arab dan non dunia Arab.

Dalam dunia Arab, Mesir di bawah pimpinan Nasser berhasil membangun kembali semangat dunia Islam terhadap Israel. Sejak terpilih sebagai presiden pada tahun 1956, Nasser membangkitkan nasionalisme Arab dan Pan-Arabisme, menasionalisasi Terusan Suez. Perang Suez menghadapkan Mesir pada Perancis, Inggris, dan Israel yang memiliki kepentingan terhadap Terusan Suez. Krisis ini berakhir dengan keputusan dunia internasional yang menguntungkan Mesir serta Terusan Suez resmi berada dalam kedaulatan Mesir. Kemudian Gamal Abdel Nasser mengadakan proyek insfrastruktur besar-besaran diantaranya adalah proyek pembangunan bendungan Aswan dengan bantuan Uni Soviet. Gamal Abdel Nasser menjadi pahlawan Arab dengan keberaniannya, sehingga meskipun pada perang melawan Israel pada tahun 1967 Mesir kalah dan Nasser ingin mengundurkan diri dan ingin mundur dari dunia politik, namun rakyat Mesir menolaknya. Gamal Abdel Nasser kembali memimpin Mesir dalam peperangan 1969-1970. Dalam konteks non dunia Arab, Nasser merupakan salah satu tokoh pencetus, pendiri dan pembangun gerakan non blok (Muhamad Iqbal, Nuraini Soyomukti, 2011 : 127).

Individu atau kelompok di Mesir diwajibkan mendukung mobilisasi massa ke dalam ASU. Jika individu atau kelompok tidak mendukungnya, maka individu atau kelompok tersebut akan mendapat tekanan politik dari penguasa militer Mesir. Salah satu kelompok yang menolak model mobilisasi ASU adalah persaudaraan Islam Ikhwanul Muslimin, sehingga Ikwanul Muslimin menjadi target tekanan politik selama pemerintahan Nasser. Ikhwanul Muslimin dianggap sebagai satu elemen yang tidak mendukung model rezim militer yang dieksperimenkan kepada Mesir. Ketika hubungan dengan Ikhwanul Muslimin memburuk, pemerintah dan Ikhwanul Muslimin terlibat dalam peperangan sporadis yang dalam beberapa kesempatan menjadi tindak kekerasan.

Nasser dan para menterinya menjadi sasaran usaha pembunuhan yang oleh pemerinah dituduhkan kepada Ikhwanul Muslimin dan mengakibatkan terjadinya penahanan massal serta penindasan terhadap Ikhwanul Muslimin. Pada tahun 1966, Nasser bertindak tegas untuk mencabut Ikhwanul Muslimin sampai ke bawah, menghukum mati Sayyid Qutb, ideolog utama Ikhwanul Muslimin saat itu, serta tokoh-tokoh lain, menahan dan memenjarakan ribuan orang, dan mengejar anggota-anggota lain sampai bersembunyi di perasingan. Menjelang akhir periode Nasser, Negara telah membelenggu lembaga keagamaan dan membungkam oposisi Islam, bahkan semua oposisi yang lain.

Gamal Abdel Nasser adalah seorang pemimpin Mesir yang paling terkenal sampai sekarang, karena Nasser adalah orang yang secara nyata melawan pendudukan penjajah asing dari Mesir, termasuk dari Terusan Suez. Perang Suez pada tahun 1956 merupakan peristiwa bersejarah yang menandai perlawanan Mesir di bawah Nasser dalam melawan penjajahan asing. Nasser juga merupakan salah seorang negarawan Arab yang paling terkemuka dalam sejarah. Gamal Abdel Nasser dilahirkan di Iskandariyah (Alexandria) dan aktif dalam gerakan Mesir menentang penjajah dan kekuasaan asing ketika kuliah di Akademi Militer. Ketika terlibat dalam Perang Kemerdekaan melawan Israel pada tahun 1948, Nasser berpangkat Mayor.

Karakter dan politik Mesir kontemporer sebagian besar dipengaruhi oleh revolusi tahun 1952 dan pemerintahan Gamal Abdel Nasser dari tahun 1952 hingga tahun 1971. Nasser mendefinisikan kembali hakikat nasionalisme Mesir dan mempromosikan nasionalisme dan sosialisme Arab baik di dalam maupun di luar negeri. Nasser menciptakan suatu Negara keamanan yang otoriter dan memproyeksikan dirinya sebagai seorang pemimpin regional dan dunia. Meskipun Nasser dan revolusi pada awalnya mendapatkan dukungan dari Ikhwanul Muslimin, setelah revolusi Ikhwanul Muslimin menentang Nasser serelah terbukti bahwa Nasser tidak berniat mendirikan Negara Islam, tetapi mempromosikan nasionalisme dan sosialisme Arab sekuler. Gamal Abdel Nasser meninggal akibat penyakit jantung dua minggu setelah peperangan usai pada 28 September 1970. Gamal Abdel Nasser digantikan oleh Muhammad Anwar As-Sadat sebagai presiden Mesir.

Sumber : Skripsi Titis Dwi Nur Nugroho yang berjudul RUNTUHNYA REZIM HOSNI MUBARAK TAHUN 2011 (Antara Diktatorisme dan Demokrasi di Mesir

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *