Cita-citaku
|“apa cita-citamu???”
Jawabnya dan yang jelas cita-citaku tidak menjadi cita-citata. Penyanyi yang beberapa waktu lalu hits dengan single lagunya entah apa judulnya. Lagu yang dari anak kecil saja hafal liriknya. Mungkin kepopuleran lagu tersebut mengalahkan lagu nasional republic ini. Anak-anak sekarang itu banyak yang nggak hafal lagu nasional, akan tetapi lagi cinta-cintaan hafal. Mungkin itu juga salah gurunya yang tidak mengajarkan lagu nasional di sekolah. Guru-guru sedang sibuk mengikuti pelatihan kurikulum. Sudah nggak ada waktu lagi untuk mengajarkan anak untuk bernyanyi. Mosok kamu nggak tahu lagunya cita-citata Yanindra???
Itu lho, yang ada liriknya ada kata-kata “bercumbu di depanku”
Sudah tahu kan Yanindra???
Muridku pernah tanya kepadaku “Om bercumbu itu gimana?”. Aku sempat kebingungan untuk menjawabnya, Yanindra. Kalau ditanya tentang siapa pencipta lagu Indonesia Raya, aku jelas tahu jawabannya. Kalau ditanya lagi kapan lagu itu dinyanyikan, aku nggak perlu buka buka buku sejarah SD, aku tahu jawabannya Yanindra. Kalau muridku tanya, apa lagu nasional Indonesia? Kalau jawabannku salah, kamu boleh kok menyuruhku kembali ke bangku sekolah dasar. Kalau kamu tanya lagu apa favoritmu dengan Dia, aku juga tahu kok Yanindra.
Bukannya aku tidak tahu jawabannya, Yanindra. Aku sebenarnya tahu apa jawaban dari pertanyaan muridku. Tapi ada sesuatu hal yang membuatku bungkam, tidak bisa memberikan jawaban. Kediamanku ini bukan karena kebodohanku, melainkan aku ingin memilih jawaban yang pantas untuk pertanyaan tersebut. Sebenarnya pertanyaan itu tidak pantas diutarakan oleh anak yang baru duduk dibangku sekolah menengah pertama. Akan tetapi, dengan tidak menjawab pertanyaan muridku tadi, dengan alasan tidak tahu, berarti aku harus berbohong. Padahal selama ini, aku nggak suka berbohong, Yanindra. Cukup para pejabat yang memiliki watak penjahat itu yang berbohong.
***
Sudah-sudah Yanindra, masalah lagu dibahas kalau kita ketemu nanti. Ngomong-ngomong kita sudah lama nggak ngobrol bareng lagi. Kalau nggak salah kita terakhir ketemu itu saat kita makan bareng di warung pinggir jalan. Kalau daerah lain di negeri ini terganggu asap kebakaran hutan, ngobrol kita saat itu juga agak terganggu dengan asap kendaran bermotor anak-anak SMA yang ugal-ugalan.
Kita bahas cita-cita saja ya, Yanindra.
Kamu masih ingat nggak Yanindra, apa cita-citamu dulu saat masih kecil??? Coba dipikir Yanindra, kira-kira cita-citamu yang dulu saat kecil itu sudah terwujud apa belum?
Kalau aku jelas, Yanindra. Cita-citaku saat kecil dulu ingin menjadi seorang dokter. Seperti anak di desaku pada umumnya yang kurang tahu diri. Dulu saat sekolah dasar, aku pernah ikut pelatihan untuk menjadi dokter kecil. Aku senang sekali saat pelatihan itu, bagiku dokter adalah segalanya, soalnya profesi itulah yang bisa menyembuhkan orang sakit. Sorry Yanindra, bukannya aku hendak menyekutukan Tuhan. Memang benar yang bisa memberikan kesembuhan hanyalah Tuhan, Dokter hanya sebagai perantara dari Tuhan untuk menyebuhkan sakit seseorang.
Tapi setelah aku dewasa, tumbuh menjadi pria yang tampan, niat menjadi seorang dokter aku batalkan. Mana mungkin bapakku yang hanya seorang buruh tani bisa menyekolahkanku untuk menjadi seorang dokter. Maklum Yanindra, keluargaku hanya memiliki lahan pas-pasan, yang hanya mampu mencukupi kebutuhan makanan dalam satu musim panen. Kalau untuk membayar uang yang beratusan juta, itu hal yang mustahil. Jangankan untuk membayar ratusan juta, untuk membeli tv yang harganya hanya ratusan ribu hingga satu jutaan saja, bapakku belum mampu, Yanindra.
Saat SMP, cita-citaku berubah, Yanindra. Hal ini gara-gara aku terispirasi dari guru sejarahku. Beliau cantik, Yanindra, selain itu juga cara menjelaskan materinya enak, nggak membosankan, nggak sampai membuatku tertidur di kelas kayak pas mata kuliah statistic. Memang aku dari SD sudah suka membaca buku-buku sejarah, Yanindra. Buku itu bukan buku ku sendiri, Yanindra, melainkan buku bekas dari tetanggaku. Berbagai lomba cerdas cermat sejarah tingkat kecamatan dapat dipastikan aku adalah juaranya, Yanindra. Sayang, mental gembelku kambuh kalau sudah lomba tingkat kabupaten. Mesti aku hanya sampai babak penyisihan.
Semenjak SMP itulah aku ganti cita-cita ingin menjadi pelatih sepak bola. Ya wajar saja, Yanindra, aku kan cowok suka sepak bola itu mah hal yang biasa saja, bukan istimewa. Akan tetapi cita-cita menjadi pelatih sepak bola kandas, gara-gara saat masuk kuliah aku nggak tahu tata cara pemilihan jurusan. Pokoknya pilihan pertamaku adalah menjadi guru sejarah, baru kemudian jurusan olahraga, dan yang terakhir adalah jurusan pendidikan Biologi. Hal ini dikarenakan, pelajaran sejarahlah pelajaran yang paling aku sukai. Sebagai seorang siswa yang mengambil jurusan IPS, memilih jurusan sejarah yang notabene adalah mata pelajaran IPS, dianggap sebagai aib, yang lebih kejam lagi menyatakan bahwa aku murtad. Tapi, ya mau apalagi, Yanindra. Akhirnya aku keterima di Pendidikan Sejarah. Dan saat itu, aku mulai berikrar untuk menjadi pendidik yang akan membentuk siswa yang cerdas, berkarakter kuat dan beraklhak mulia. Sebuah cita-cita yang sungguh luar biasa kan, Yanindra???
Hohoho
Ya cita-cita memang seperti itu, Yanindra. Sering berubah-ubah. Kalau pekerjaanmu sekarang tidak sama dengan cita-citamu pada masa kecil, itu biasa saja. Yang terpenting kita selalu bersyukur dengan apa yang telah diberikan Tuhan.