Dinasti Sanjaya

candi-diengKerajaan Mataram Kuno terbagi menjadi dua dinasti yaitu Dinasti Sanjaya dan Dinasti Sailendera. Kedua Dinasti ini dibedakan berdasarkan agama yang dianut. Dinasti Sanjaya bercorak Hindu, sedangkan Sailendera bercorak Budha. Dinasti Syailendra yang beragama Buddha mengembangkan Kerajaan Mataram Lama yang berpusat di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu mengembangkan kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah bagian Utara.

Raja-raja wangsa Sanjaya, seperti dimuat dalam prasasti Mantyasih (Kedu), Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya; Sri Maharaja Rakai Panangkaran; Sri Maharaja Rakai Panunggalan; Sri Maharaja Rakai Warak; Sri Maharaja Rakai Garung; Sri Maharaja Rakai Pikatan; Sri Maharaja Rakai Kayuwangi; Sri Maharaja Rakai Watuhumalang; dan Sri Maharaja Rakai Dyah Balitung.

Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 – 746 M)

Raja ini adalah pendiri Kerajaan Mataram sekaligus pendiri wangsa Sanjaya. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya berangka tahun berbentuk candrasengkala berbunyi “srutiindriyarasa” atau tahun 654 Saka =732 M (dengan huruf Pallawa bahasa Sanskerta). Isi pokok Prasasti Canggal adalah pendirian sebuah lingga di bukit Stirangga. Sang Raja Sanjaya mendirikan lingga yang ditandai dengan tanda-tanda di bukit yang bernama Stirangga untuk keselamatan rakyatnya. Setelah wafat, ia digantikan oleh Rakai Panangkaran.

Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 – 784 M)

Dalam prasasti Kalasan (778 M) diceritakan bahwa Rakai Panangkaran (yang dipersamakan dengan Panamkaran Pancapana) mendirikan candi Kalasan untuk memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa Gautama, dan candi Sari untuk dijadikan wihara bagi umat Buddha atas permintaan Raja Wisnu dari dinasti Syailendra. Ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan raja ini datanglah dinasti Syailendra dipimpin rajanya, Bhanu (yang kemudian digantikan Wisnu), dan menyerang wangsa Sanjaya hingga melarikan diri ke Dieng, Wonosobo. Selain itu, Raja Panangkaran juga dipaksa mengubah kepercayaannya dari Hindu ke Buddha. Adapun penerus wangsa Sanjaya setelah Panangkaran tetap beragama Hindu.

Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan. Daerahnya bertambah luas. Ia juga memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci.  Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.

Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784 – 803 M)

Sri Maharaja Rakai Warak (803 – 827 M)

Dua raja ini tidak memiliki peran yang berarti, mungkin karena kurang cakap dalam memerintah sehingga dimanfaatkan oleh dinasti Syailendra untuk berkuasa atas Mataram. Setelah Raja Warak turun takhta sebenarnya sempat digantikan seorang raja wanita, yaitu Dyah Gula (827 – 828 M), namun karena kedudukannya hanya bersifat sementara maka jarang ada sumber sejarah yang mengungkap peranannya atas Mataram Hindu

Sri Maharaja Rakai Garung (828 – 847 M)

Raja ini beristana di Dieng, Wonosobo. Ia mengeluarkan prasasti Pengging (819 M) di mana nama Garung disamakan dengan Patapan Puplar (mengenai Patapan Puplar diceritakan dalam prasasti Karang Tengah – Gondosuli).

Sri Maharaja Rakai Pikatan (847 – 855 M)

Raja Pikatan berusaha keras mengangkat kembali kejayaan wangsa Sanjaya dalam masa pemerintahannya. Ia menggunakan nama Kumbhayoni dan Jatiningrat (Agastya). Beberapa sumber sejarah yang menyebutkan nama Pikatan sebagai berikut.

  1. Prasasti Perot, berangka tahun 850 M, menyebutkan bahwa Pikatan adalah raja yang sebelumnya bergelar Patapan.
  2. Prasasti Argopuro yang dikeluarkan Kayuwangi pada tahun 864 M.
  3. Tulisan pada sebelah kanan dan kiri pintu masuk candi Plaosan menyebutkan nama Sri Maharaja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. Diduga tulisan tersebut merupakan catatan perkawinan antara Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. Sri Kahulunan diduga adalah Pramodhawardhani, putri Samaratungga, dari dinasti Syailendra. Mengenai pernikahan mereka dikisahkan kembali dalam prasasti Karang Tengah.
  4. Prasasti Pereng (862 M), isinya mengenai penghormatan kepada Syiwa dan penghormatan kepada Kumbhayoni.
  5. Prasasti Code D 28, berangka tahun Wulung Gunung Sang Wiku atau 778 Saka (856 M). Isinya adalah (a) Jatiningrat (Pikatan) menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Lokapala (Kayuwangi dalam prasasti Kedu); (b) Pikatan mendirikan bangunan Syiwalaya (candi Syiwa), yang dimaksud adalah candi Prambanan; (c) kisah peperangan antara Walaputra (Balaputradewa) melawan Jatiningrat (Pikatan) di mana Walaputra kalah dan lari ke Ungaran (Ratu Boko).
  6. Prasasti Ratu Boko, berisi kisah pendirian tiga lingga sebagai tanda kemenangan. Ketiga lingga yang dimaksud adalah Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai petapa berpakaian kulit harimau), Tryambaka Lingga (Syiwa menghancurkan benteng Tripura yang dibuat raksasa), dan Hara Lingga (Syiwa sebagai dewa tertinggi atau paling berkuasa).

Sebagai raja, Pikatan berusaha menguasai seluruh Jawa Tengah, namun harus menghadapi wangsa Syailendra yang saat itu menjadi penguasa Mataram Buddha. Untuk itu, Pikatan menggunakan taktik menikahi Pramodhawardhani, putrid Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti Syailendra. Pernikahan ini memicu peperangan dengan Balaputradewa yang merasa berhak atas tahta Mataram sebagai putra Samaratungga. Balaputradewa kalah dan Rakai Pikatan menyatukan kembali kekuasaan Mataram di Jawa Tengah.

Sri Maharaja Kayuwangi (855 – 885 M)

Nama lain Sri Maharaja Kayuwangi adalah Lokapala. Ia  mengeluarkan, antara lain, tiga prasasti berikut.

  1. Prasasti Ngabean (879 M), ditemukan dekat Magelang. Prasasti ini terbuat dari tembaga.
  2. Prasasti Surabaya, menyebutkan gelar Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.
  3. Prasasti Argopuro (863 M), menyebutkan Rakai Pikatan pu Manuku berdampingan dengan nama Kayuwangi.

Dalam pemerintahannya, Kayuwangi dibantu oleh dewan penasihat merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima orang patih. Dewan penasihat ini diketuai seorang mahapatih.

Sri Maharaja Watuhumalang (894 – 898 M)

Masa pemerintahan Kayuwangi dan penerus-penerusnya sampai masa pemerintahan Dyah Balitung dipenuhi peperangan perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, setelah Kayuwangi turun takhta, penggantinya tidak ada yang bertahan lama. Di antara raja-raja yang memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah Balitung yang tercatat dalam prasasti Kedu adalah Sri Maharaja Watuhumalang. Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885 – 887 M), dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat dalam prasasti tersebut mungkin karena masa pemerintahannya terlalu singkat atau karena Balitung sendiri tidak mau mengakui kekuasaan mereka.

Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898 – 913 M)

Raja ini dikenal sebagai raja Mataram yang terbesar. Ialah yang berhasil mempersatukan kembali Mataram dan memperluas kekuasaan dari Jawa Tengah sampai ke Jawa Timur. Dyah Balitung menggunakan beberapa nama:

  1. Balitung Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti Penampihan),
  2. Rakai Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab Negarakertagama),
  3. Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti Kedu), dan
  4. Rakai Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam prasasti Surabaya).

Prasasti-prasasti yang penting dari Balitung sebagai berikut.

  1. Prasasti Penampihan di Kediri (898 M).
  2. Prasasti Wonogiri (903 M).
  3. Prasasti Mantyasih di Kedu (907 M).
  4. Prasasti Djedung di Surabaya (910 M).

Mataram Kuno mencapai puncak pada masa Raja Balitung. Ia membangun pusat perdagangan seperti disebutkan dalam prasasti Purworejo (900 M). Dalam prasasti Wonogiri (903 M) diterangkan bahwa desa-desa yang terletak di kanan-kiri Sungai Bengawan Solo dibebaskan dari pajak dengan syarat penduduk desa tersebut harus menjamin kelancaran hubungan lalu lintas melalui sungai.

Balitung digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri Maharaja Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun, ketiga raja ini sangat lemah sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti Sanjaya

No Comments

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *