Dwifungsi ABRI

Pada masa reformasi, TNI mendapat kewenangan dalam bidang pertahanan

SEBAB

Reformasi mengakui supremasi sipil yang melarang TNI terlibat dalam politik praktis

Pembahasan Soal

Dwifungsi ABRI

AH_NasutionDwifungsi ABRI dicetuskan oleh A.H Nasution pada masa perang kemerdekaan, ABRI memiliki peran ganda yakni dalam bidang militer dan politik. Hal ini mencapai puncaknya pada masa Orde Baru. ABRI menjadi salah satu kekuatan selain Golkar dan Birokrasi dalam pemerintahan Orde Baru. Berikut langkah-langkah pelaksanaan dwifungsi ABRI:

  1. Menyatukan doktrin ABRI (Catur Darma Eka Karma)
  2. Mengeluarkan kedudukan panglima angkatan dari kedudukannya sebagai menteri
  3. Meninggikan kedudukan lembaga pertahanan keamanan
  4. Menghapus empat kementerian angkatan bersenjata dan menjadikan keempatnya di bawah kepemimpinan presiden
  5. Melaksanakan berbagai program yang melibatkan ABRI dan rakyat, seperti ABRI Masuk Desa (AMD)
  6. ABRI ikut serta dalam politik praktis yakni mengirimkan wakilnya menjadi fraksi ABRI di DPR

Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa). Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri. Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar.

Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer.

Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI danFraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR.

Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari:

  1. Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”,
  2. Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu,
  3. ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya

Penghapusan dwifungsi ABRI

Pelaksanaan dwifungsi pada masa Orde Baru banyak menimbulkan penyelewengan. Oleh karena itu pasca reformasi dilakukan kebijakan penghapusan dwifungsi ABRI. Tanggal 5 Mei 1999, Presiden Habibie mengeluarkan kebijakan pemisahan intitusi Kepolisian Republik Indonesia. Selanjutnya, dilakukan pengurangan kursi ABRI di DPR.

Pada masa Abdurarahman Wahid juga mewujudkan salah satu agenda reformasi yakni penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Pemisahan TNI dan Polri juga merupakan upaya untuk mengembalikan fungsi masing-masing unsur tersebut. TNI dapat memfokuskan diri dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari ancaman kekuatan asing, sementara Polri dapat lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban

Jadi: pernyataan “Pada masa reformasi, TNI mendapat kewenangan dalam bidang pertahanan” adalah BENAR, dan SEBAB “Reformasi mengakui supremasi sipil yang melarang TNI terlibat dalam politik praktis” adalah BENAR akan tetapi tidak berhubungan sehingga opsi yang dipilih [B]

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *