Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1683)

sultan-ageng-tirtayasaSultan Ageng merupakan musuh VOC yang tangguh. Pihak VOC ingin mendapatkan monopoli lada di Banten. Pada tahun 1656 pecah perang. Banten menyerang daerah-daerah Batavia dan kapal-kapal VOC, sedangkan VOC memblokade pelabuhan. Pada tahun 1659 tercapai suatu penyelesaian damai. VOC menggunakan siasat devide et impera / memecah belah dengan memanfaatkan konflik  internal dalam keluarga Kerajaan Banten.

Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putranya yang bergelar Sultan Haji (1682 – 1687) sebagai raja di Banten. Sultan Ageng dan Sultan Haji berlainan sifatnya. Sultan Ageng bersifat sangat keras dan anti-VOC sedang Sultan Haji lemah dan tunduk  pada VOC. Maka ketika Sultan Haji menjalin hubungan dengan VOC, Sultan Ageng menentang dan langsung menurunkan Sultan Haji dari tahtanya. Namun, Sultan Haji menolak untuk  turun  dari tahta kerajaan.

Untuk mendapatkan tahtanya kembali, Sultan Haji meminta bantuan pada VOC. Pada tanggal 27 Februari 1682 pasukan Sultan Ageng menyerbu Istana Surosowan di mana Sultan Haji bersemayam. Namun mengalami kegagalan karena persenjataan Sultan Haji yang dibantu VOC lebih lengkap. Oleh karena kekalahan ini maka diadakan Perjanjian Banten. Isi Perjanjian Banten (1683) antara lain:

  1. Banten harus mengakui kekuasaan VOC
  2. Sultan Haji diangkat sebagai sultan Banten
  3. Banten harus melepaskan pengaruhnya terhadap Cirebon
  4. Banten tidak boleh berdagang lagi di Maluku
  5. Hanya Belanda yang boleh mengekspor dan memasukkan kain ke wilayah Banten

Tahun 1683 Sultan Ageng berhasil ditangkap, dan Sultan Haji kembali menduduki tahta Banten. Meskipun Sultan Ageng telah ditangkap, perlawanan terus berlanjut di bawah pimpinan Ratu Bagus Boang dan Kyai Tapa.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *