Tanam Paksa

van den boschIstilah culturstelsel dalam bahasa inggrisnya adalah cultivation sistem (sistem penanaman). Namun orang-orang lebih menekankan pada culturstelsel yang artinya tanam paksa. Tanam paksa merupakan sebuah eksperimen unik dalam rekayasa sosio-ekonomi. Pada awalnya sistem yang diterapkan di Indonesia adalah sistem sewa tanah akan tetapi mengalami kegagalan karena pelaksanaannya sangat sulit sehingga pemerintah kolonial tidak mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sistem tanaman bebas digantikan sistem tanaman wajib yang sudah ditentukan oleh pemerintah kolonial. Jenis tanaman dibagi menjadi dua yaitu tanaman tahunan (tebu, nila, tembakau) dan tanaman keras (kopi, teh, lada, kina, kayu manis)

Sistem tanam paksa diberlakukan oleh Johanes Van den Bosch pada tahun 1830an. Hal ini dikarenakan kas negara yang mengalami kekosongan akibat menghadapi berbagai perlawanan dari penduduk pribumi. Perlawanan Diponegoro (1825-1830) atau Perang Jawa telah membuat kas Negara Hindia Belanda (nama Indonesia zaman kolonial) menjadi kosong. Pemerintah dipaksa mengeluarkan banyak anggaran dalam menangkal strategi perang Diponegoro (taktik perang grilya) dengan mengirikan beberapa benteng (benteng stelsel) guna mempersempit ruang gerak Diponegoro. Benteng stelsel benar-benar menguras biaya yang sangat banyak. Selain untuk mengisi kas Negara yang kosong, Belanda juga membutuhkan banyak uang guna menghadapi pemberontakan di Belgia yang ingin memisahkan diri dari Belanda.

Tujuan dilakukannya tanam paksa adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu yang singkat guna mengisi kekosongan kas negara. Ketentuan-ketentuan pokok dalam tanam paksa diatur dalam Staarblad (Lembaran Negara) tahun 1834 No. 22. Adapun isi ketentuan tersebut antara lain: akan diadakan persetujuan dengan penduduk mengenai penyediaan tanah yang akan ditanami tanaman ekspor, tanah yang disediakan tidak boleh lebih dari seperlima tanah petani, lahan yang ditanami tanaman ekspor dibebaskan dari pajak, pekerjaan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh melebihi dari pekerjaan dalam menanam padi. Selain itu aturan lainya adalah jika hasil tanaman melebihi pajak tanah yang harus dibayar maka selisihnya harus diberikan kepada petani. Panen tanaman yang gagal bukan akibat dari tindakan petani, maka kerugian yang menanggung adalah pemerintah.

Van den Bosch memanfaatkan kekuasaan pembesar bumi putra atau kaum priyayi/bupati. Para bupati mendapatkan jaminan terhadap jabatan dan mendapatkan fasilitas lainnya dari pemerintah kolonial. Para bupati dijadikan perantara antara pemerintah kolonial dengan penduduk bumi putra. Para bupati juga menyewakan tanah kepada Belanda. Para bupati ini juga mendapatkan komisi atau insentif dalam istilahnya cultuurprocentan apabila berhasil mendapatkan hasil tanaman banyak yang pada nantinya akan diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Tanaman-tanaman diangkut oleh petani ke daerah pesisir kemudian dikirim ke Belanda oleh Nederlandsche Handel-Maatschappij yang dibentuk oleh Williem I (1824).

Pada akhirnya terdapat berbagai penyelewangan pada ketentuan yang telah dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda. Setiap aturan yang dibuat pasti dilanggar. Oleh karena itu tanam paksa benar-benar memberatkan rakyat bumi putra. Padahal apabila melihat ketentuan-ketentuan yang ada diatas, nampa rakyat tidak diberatkan sama sekali. Pada masa tanam paksa rakyat dipaksa bekerja lebih giat lagi. Tenaga rakyat diperas oleh pemungut pajak dan pemerintah kolonial. Benar-benar tanam paksa membawa kesengsaraan bagi rakyat Indonesia dan memberikan berkah kepada pemerintah kolonial Belanda. Pada tanam paksa, ada hal yang menarik dari pertambahan jumlah penduduk. Penduduk bumi putra meningkat tajam semenjak adanya tanam paksa.

Bagi pemerintahan kolonial belanda, tanam paksa mendatangkan keuntungan berlipat ganda, utang-utang dari VOC berhasil dilunasi, membuat jalan raya, membangun benteng, membangun negeri belanda menjadi lebih makmur lagi. Hal itu berdampak terbalik dengan yang dialami oleh penduduk bumi putra. Tanam paksa bagaikan ibarat neraka di dunia. Kemiskinan melanda dimana-mana akibat adanya kerja rodi, pembayaran pajak yang memberakan rakyat hingga bahaya kelaparan di berbagai daerah. Penduduk banyak yang melarikan diri dari tempat tinggalnya. Namun dibalik beberapa dampak negatif terdapat secuil dampak positif dari pelaksanaan tanam paksa diantara, penduduk bumi putra mengenal tanaman ekspor berserta cara menanamnya, pembangunan sarana irigasi yang nantinya bermanfaat pada kehidupan dikelak nanti. Namun pada kesimpulannya dampak negatif lebih banyak dibandingkan dampak positif yang didapatkan rakyat bumi putra.

Pada akhirnya tanam paksa mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan. Berbagai tokoh yang menentang tanam paksa antara lain Douwes Dekker (menulis buku Max Havelaar), Frans van de Putte (menulis buku Suiker Contracten) dan Van Deventer (pencetus politik etis). Mereka adalah orang-orang liberal yang menentang tanam paksa. Meraka memaksa kepada pemerintah kolonial Belanda agar urusan ekonomi diserahkan kepada pihak swasta. Secara de jure tanam paksa berakhir pada tahun 1870 sejalan dengan lahirnya Undang-undang Agraria yang membuka jawa bagi pemodal asing. Setelah itu muncullah kebijakan politik pintu terbuka (open door politic), Indonesia memasuki zaman ekonomi liberal.

Sumber bacaan

Clifford geertz. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara

Jan Luiten van Zenden & Daan Marks. 2012. Ekonomi Indonesia 1800-2000 Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta: Kompas

Parakitri T. Simbolon. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta: Grasindo PT Kompas Media Nusantara

Sri Sudarmi & Waluyo. 2008. Galeri Pengetahuan Sosial Terpadu untuk SMP/MTS Kelas VIII. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Untuk materi lebih lengkap tentang SISTEM TANAM PAKSA DI INDONESIA silahkan kunjungi link youtube berikut ini. Kalau bermanfaat jangan lupa subscribe, like dan share.. Terimakasih

No Comments