Perbedaan Akulturasi dan Asimilasi
|Koentjaraningrat menjelaskan bahwa Akulturasi adalah suatu proses yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan[1] tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.Akulturasi akan terjadi apabila suatu unsur kebudayaan tertentu dari masyarakat satu berhadapan dengan kebudayaan lain, sehingga lambat laun unsur-unsur kebudayaan asing diserap ke dalam kebudayaan penerima[2] tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan penerima. Misalnya: sebagai contoh adalah bangunan candi. Bangunan Candi merupakan tempat peribadatan untuk agama Hindu dan Budha. Fungsi candi yang ada di Indonesia memiliki perbedaan dengan yang ada di India. Candi di Indonesia selain digunakan untuk tempat beribadah, juga digunakan untuk makam raja. Bentuk candi merupakan tipe bentuk asli bangunan Indonesia zaman Megalitikum[3] yakni Punden Berundak.
Sedangkan Asimilasi terjadi pada kelompok masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda namun hidup berdampingan, sehingga anggota dari kelompok tadi dapat bergaul dengan sesamanya secara langsung dan akrab dalam waktu yang lama serta memungkinkan kebudayaan kelompok tersebut saling berusaha mendekati satu sama lain untuk kemudian dapat menyatu.
Proses Asimilasi dapat berjalan lancar atau lambat tergantung dari factor-faktor pendorong dan penghambat. Factor pendorong Asimilasi antara lain:
- Toleransi[4] antara kelompok-kelompok pendukung kebudayaan
- Simpati terhadap kebudayaan lain
- Adanya kemungkinan yang sama dalam bidang ekonomi
Sedangkan faktor penghambat Asimilasi antara lain:
- Sifat takut terhadap kekuatan kebudayaan lain
- Kurangnya pengetahuan tentang kebudayaan yang dicapai
- Perasaan yang lebih unggul dari kebudayaan lain
Perbedaan Akulturasi dengan Asimilasi adalah pada Akulturasi masing-masing kebudayaan tidak kehilangan kepribadiannya, sedangkan pada asimilasi masing-masing kebudayaan kehilangan kepribadiannya.
[1] Istilah budaya berasal dari bahasa Sansekerta “buddayah” sebagai bentuk jamak dari kata “buddhi” yang artinya akal atau budi. Secara etimologis, budaya adalah hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Selo soemardjan mengatakan bahwa kebudayaan adalah hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. J.J Hoenigman mengklasifikasikan kebudayaan dalam tiga macam yakni gagasan, aktivitas dan artefak.
[2] Di Indonesia mengenal istilah local genius(kearifan local). Bila unsur budaya tersebut dirasakan cocok dan tak menimbulkan pertentangan dalam masyarakat, maka ia akan disaring terlebih dahulu lalu diambil untuk kemudian dipadukan dengan budaya yang lama; dan bila tak cocok maka unsur tersebut akan dibuang
[3] Zaman Megalitikum adalah pemababakan zaman praaksara berdasarkan benda yang digunakan oleh manusia purba. Megalitikum atau zaman batu besar merupakan satu zaman dimana alat-alat yang digunakan berukuran besar (mega=besar). Pada masa ini diperkirakan manusia purba sudah memiliki system kepercayaan berupa animisme dan dinamisme. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya benda-benda yang berkaitan erat dengan ritual kepercayaan. Peninggalan Megalitikum antara lain Punden Berundak, Arca batu, Menhir, Waruga, Dolmen, dan Sarkofagus.
[4] Toleransi adalah salah satu bentuk Akomodasi yang terjadinya tanpa persetujuan formal, berupa sikap sabar membiarkan perbedaan, sehingga pertikaian dapat selesai dengan sendirinya