Kebijakan van der Capellen di Indonesia (1819-1825)

van der capplenSetelah berakhirnya kekuasaan Inggris[1], Indonesia dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada mulanya, pemerintahan ini merupakan pemerintahan kolektif yang terdiri atas tiga orang, yaitu Flout, Buyskess, dan van der Capellen. Mereka berpangkat komisaris jenderal. Pemerintahan kolektif itu bertugas menormalisasikan keadaan. Masa peralihan itu hanya berlangsung dari tahun 1816-1819. Pada tahun 1919, kepala pemerintahan mulai dipegang oleh seorang gubernur jenderal, yaitu van der Capellen (1816-1824).

Sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Capellen masa itu menghadapi tantangan  seperti:

  1. menghadapi perekonomian yang buruk,
  2. persaingan perdagangan dengan Inggris, dan
  3. sikap bangsa Indonesia yang memusuhi Belanda.

Dalam menjalankan pemerintahannya, komisaris jenderal melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Sistem residen tetap dipertahankan,
  2. Dalam bidang hukum, sistem juri dihapuskan,
  3. Kedudukan para bupati sebagai penguasa feudal/feodal[2] tetap dipertahankan,
  4. Desa sebagai satu kesatuan unit tetap dipertahankan dan para penguasanya dimanfaatkan untuk pelaksanaan pemungutan pajak dan hasil bumi,
  5. Dalam bidang ekonomi memberikan kesempatan kepada pengusaha-pengusaha asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Pada tahun 1819 tugas Komisi Jenderal dinilai sudah selesai, sehingga Elout dan Buyskes kembali ke Nederland sedangkan van der Capellen tinggal di Indonesia sebagai Gubernur Jenderal. Karena van der Capellen ikut menyusun undang-undang yang akan diterapkan di Indonesia setelah wilayah itu kembali kepada Belanda. Karena itu pengangkatannya sebagai gubernur jenderal karena dia dianggap yang paling megetahui bagaimana undang-undang itu dilaksanakan. Tetapi apa yang dijalankan oleh van der Capellen ternyata tidak seperti yang direncanakan. Adapun alasan van der Capellen melakukan penyimpangan tersebut adalah karena undang-undang itu ternyata tidak dapat dilaksanakan dalam kondisi di Indonesia saat itu.

Menurut van der Capellen, tugas yang paling penting adalah mengumpulkan uang untuk menjalankan pemerintahan yang baru itu. Jika peraturan yang liberal dalam regerings-reglement tahun 1819 itu diterapkan sepenuhnya, maka tidak akan memperoleh dana. Dengan alasan tersebut, van der Capellen ingin mencari jalan pintas. Oleh karena itu,beberapa peraturan ditangguhkan, sedangkan aturan-aturan yang menguntungkan pemerintah dilakukan. Karena tindakannya itu, Clive Day menyebut van der Capellen adalah Gubernur Jenderal yang reaksioner.

Di antara pembaruan-pembaruan yang dicoba oleh van der Capellen adalah pembaruan sistem perdagangan yang akhirnya mengundang kemarahan orang-orang Eropa (terutama orang Belanda) terhadapnya. Dalam tahun 1821 van der Capellen mengeluarkan undang-undang yang melarang segala bentuk perdagangan Eropa di daerah kopi (Priangan), kecuali dengan izin khusus. Ia melakukan hal tersebut dengan harapan untuk melindungi orang-orang Indonesia agar tidak ditipu oleh para pedagang Eropa serta untuk memperbesar hasil bagi pemerintah Belanda. Tindakan lain yang juga mengundang kemarahan orang Eropa adalah peraturan yang dikeluarkan tahun 1823. Dalam pembaruan itu dia melarang orang-orang Eropa menyewa tanah[3] rakyat. Peraturan ini juga untuk melindungi orang pribumi. Orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang merasa paling dirugikan adalah yang menyewa tanah di Surakarta dan Yogyakarta. Mereka sudah membayar uang muka yang besar, sehingga sewaktu peraturan itu turun, maka mereka menuntut pengembalian uang muka yang sudah habis dibelanjakan oleh orang-orang pribumi.

Kebijakan Van Der Capellen

  1. menghentikan pembayaran sewa tanah di daerah Negara Agung Mataram
  2. mendirikan “Departemen Pertanian, Seni, dan Ilmu Pengetahuan untuk Pulau Jawa” yang bertugas memajukan pertanian melalui pendidikan umum dan profesional serta penelitian
  3. mengurangi sebagian monopoli perdagangan rempah-rempah untuk meredam ketidakadilan dan perlawanan rakyat
  4. dikeluarkan UU Pendidikan (1916). Sebagai pelaksanaannya dibangunlah sekolah-sekolah dasar untuk semua golongan warga.
  5. Imunisasi berhasil dijalankan dan penyakit cacar berhasil ditekan penyebarannya.

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Capellen juga dilaksanakan sistem politik yang dualistis[4]. Akibatnya orang-orang pribumi itu, terutama para pegawai dan peladang merasa kecewa terhadap pemerintah Belanda. Anggaran belanja negara semasa pemerintahan van der Capellen senantiasa menunjukkan defisit, sehingga Negeri Belanda harus menutupnya. Dalam keadaan kesulitan keuangan yang dialami Negeri Belanda sendiri pada waktu itu, maka suatu koloni yang tak dapat mencukupi keperluan sendiri adalah sesuatu yang tak ada gunanya. Van der Capellen yang sangat liberal ini tidak disukai kalangan atas di Hindia Belanda karena dianggap terlalu lemah. Pada tahun 1824 ia dipanggil pulang ke Belanda dan pada tahun 1826 posisi gubernur jenderal diserahkan kepada Hendrik Merkus de Kock.

[1]Berakhirnya pemerintahan Inggris di Indonesia ditandatanganinya Konvensi London pada tahun 1815 yang menyatakan bahwa Belanda mendapatkan kembali daerah jajahannya di Indonesia.

[2] Feodal dalam kamus besar bahasa Indonesia terkait dengan (a) berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh bangsawan; (b) mengenai kaum bangsawan (tentang sikap, cara hidup, dan sebagainya); (c) mengenai cara pemilikan tanah pada abad pertengahan di Eropa. Feodalisme berasal dari kata feodum yang artinya tanah. feodalisme adalah sebuah system pemerintahan dimana seorang pemimpin, yang biasanya seorang bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vasal. Para vassal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vassal pada giliran ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti.

[3] Sewa tanah (land rent) untuk pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Gubernur Raffles (1811-1816).

[4]Pada satu pihak melindungi hak-hak kaum pribumi, di lain pihak memberi kebebasan kepada pengusaha-pengusaha swasta Barat untuk membuka usahanya di Indonesia selama tidak mengancam kehidupan penduduk

No Comments

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *