Perlawanan di Sumatera: Perang Padri
Perang Padri merupakan salah satu perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, khususnya perlawanan rakyat Sumatera dalam menentang kolonialisme barat. Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821–1837. Perang ini disebabkan oleh adanya konflik antara para pembaru Islam (Kaum) Padri yang sedang konfik dengan kaum Adat. Adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan Belanda. Perlu dipahami sekalipun masyarakat Sumatera Barat sudah memeluk agama Islam, tetapi sebagian masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Padre dari bahasa Portugis untuk menunjuk orang-orang Islam yang berpakaian putih. Hal ini dikarenakan orang Sumatera Barat baru kembali dari menunaikan ibadah haji (1803). Tokoh kaum Padri antara lain Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piabang, Tuanku nan Renceh, Dato’ Malim Basa (Imam Bonjol). Sedangkan kaum adat dipimpin oleh Dato’ Sati yang kemudian meminta bantuan Belanda.
Perang Padri terbagi menjadi beberapa tahap.
Tahap Pertama
Pada fase pertama, dimulai gerakan kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli-patroli Belanda. Pasukan Padri menggunakan senjata-senjata tradisional, seperti tombak, dan parang. Sedangkan Belanda dan kaum Adat, menggunakan senjata-senjata lebih lengkap, modern seperti meriam dan senjata api lainnya. Pertempuran ini memakan banyak korban. Di pihak Tuanku Pasaman (pimpinan perang Padri) kehilangan 350 orang prajurit, termasuk putra Tuanku Pasaman. Begitu juga Belanda tidak sedikit kehilangan pasukannya. Tuanku Pasaman dengan sisa pasukannya kemudian mengundurkan diri ke Lintau dan melakukan perang Gerilya. Belanda kemudian membujuk kaum Padri untuk berdamai.
Karena merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, maka Belandamengambil strategi damai. Oleh karena itu, pada tanggal 26 Januari 1824tercapailah perundingan damai antara Belanda dengan kaum Padri diwilayah Alahan Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang.
Tahap Kedua (1825-1830)
Perjanjian Masang diingkari Belanda dengan menduduki tempat-tempat yang dikuasai oleh kaum Padri. Maka kemudian perlawanan berkobar kembali. Akan tetapi atas bujuk rayu Belanda kemudian dilakukan perjanjian ulang. Pada tanggal 15 November 1825 diadakan perjanjian di Padang. Isi Perjanjian Padang itu antara lain :
- Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
- Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
- Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan
- Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.
Perundingan terpaksa dilakukan oleh Belanda dikarenakan tentara Belanda terfokus untuk menumpas perlawanan dari Pangeran Diponegoro (1825-1830).
Tahap Ketiga (1830-1837)
Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan Belanda dikonsentrasikan ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Pada pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapatkan simpati dari kaum Adat. Dengan demikian kekuatan para pejuang di Sumatera Barat akan meningkat. Orang-orang Padri yang mendapatkan dukungan kaum Adat itu bergerak ke pos-pos tentara Belanda.
Belanda kemudian mendatangkan tentara besar-besaran dari pulau Jawa. Selain dengan operasi militer, Belanda juga menerapkan taktik winning the heart kepada masyarakat. Pajak pasar dan berbagai jenis pajak mulai dihapuskan. Penghulu yang kehilangan penghasilan akibat penghapusan pajak, kemudian diberi gaji 25-30 golden. Para kuli yang bekerja untuk pemerintah Belanda juga diberi gaji 50 sen sehari. Elout digantikan oleh E. Francis yang tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau. Kemudian dikeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah pernyataan atau janji khidmat yang isinya tidak akan ada lagi peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Setelah pengumuman Plakat Panjang ini kemudian Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada para pemimpin Padri
Akhirnya Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya terdesak. Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Pasukan yang dapat meloloskan diri melanjutkan perang gerilya di hutan-hutan Sumatera Barat. Imam Bonjol sendiri kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia dibuang ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado sampai meninggalnya pada tanggal 6 November 1864.
Related Posts
-
Faktor Kegagalan Bangsa Indonesia Mengusir Penjajah
1 Komentar | Jan 18, 2018
-
Politik Etis/ Balas Budi
Tidak ada Komentar | Agu 14, 2016
-
Kegagalan Penyerangan Batavia (1628-1629)
1 Komentar | Agu 28, 2016
-
Perlawanan di Kalimantan Selatan (1859–1905)
1 Komentar | Mei 20, 2016
About The Author
doni setyawan
Mari berlomba lomba dalam kebaikan. Semoga isi dari blog ini membawa manfaat bagi para pengunjung blog. Terimakasih