Kemrosotan Mataram Pasca Sultan Agung

Sultan AgungPada masa Sultan Agung kerajaan Mataram bisa dikatakan mencapai puncak kejayaan. Kerajaan Mataram sangat luas dan rakyatnya hidup dengan sejahtera. Sultan Agung mampu mengonsolidasikan kerajaan Mataram di Jawa. Sepeninggal Sultan Agung pemerintahan Mataram terus menerus diguncang gejolak politik yang mempengaruhi stabilitas dan keamanan, baik berupa pemberontakan, perpindahan keratin, pusaka yang hilang, maupun masuknya budaya barat.Hal ini memperlihatkan bagaimana Negara seperti Mataram itu bergantung pada pribadi penguasa dan betapa rapuhnya kekuasaan yang dibentuk oleh Sultan Agung ketika berada di tangan tokoh-tokoh yang lebih lemah. Intrik terjadi di kalangan putra Sultan Agung. Yang menjadi pengganti Sultan Agung adalah susuhunan Amangkurat I (1646-1677). Intrik yang terjadi antara beliau melawan adiknya pangeran alit, dan berakhir dengan terbunuhnya pangeran alit. Sesudah itu kerajaan mulai terjadi perpecahan di dalam kesatuan dan seluruh Negara.

Kompeni sangat berperan terhadap kemerosotan di kerajaan Mataram. Belanda mulai campur tangan di kerajaan Mataram pada saat terjadi pemberontakan Trunojoyo. Belanda berhasil memulihkan Amangkurat II ke atas tahta kerajaan. Sejak saat itu, Belanda mulai ikut campur dalam hal suksesi kekuatan. Posisi komeni semakin kuat dan dikonsolidasikan melalui serangkaian kontrak dan konsesi sebagai pembayaran utang raja-raja Jawa. Orang-orang Belanda adalah “pengacau”.

Belanda bisa mengacaukan suatu system yang tidak mereka pahami, tetapi mereka tidak bias mengemdalikan ataupun mengganti system tersebut. Ini dapat menyebabkan krisis politik yang dicampuri Belanda menjadi kronis dan tidak bias diselesaikan. Dalam hal ini membuktikan bahwa kehadiran Belanda ke Kerajaan itulah yang mneghalangi terjadinya penyelesaian krisis. Berakhirnya perang Jawa diberlakukan birokrasi baru, binnenlandsbestuur dan inlandschbestuur, sehingga kehadiran birokrasi itu memutus hubungan politik antara raja dan bupati, serta menjadi pijakan colonial melakukan sekularisasi kepada priyayi pangreh praja

Susuhunan berupaya meningkatkan kewibawaan dengan pembunuhan dan memusatkan administrasi dengan dekrit yang mengancam dan memusuhi pembesar-pembesar Jawa, sehingga merusak consensus dan tanpa consensus raja tidak bias memerintah. Tidak adanya consensus mengakibatkan terjadinya pemberontakan, salah satunya pangeran Trunojoyo dari Madura, dan berhasil menduduki Kraton. Pada saat inilah peranan kompeni mulai masuk dalam lingkup kraton.

Setelah berhasil menumpas pemberontak, Amangkurat memindah kraton dari kota Gede ke Kartasura. Meluasnya pengaruh kompeni mengakibatkan pewaris tahta Mataram menjalankan system sekuler. Dinamika politik Mataram cenderung diliputi oleh suasana intrik, provokasi, dan faksionalisme dalam persoalan suksesi. Bahkan sering kali dinamika itu memacu kegagalan-kegagalan. Puncak kegagalan adalah pembagian daerah Mataram menjadi tiga kekuasaan (palihan nagari) yakni berdasarkan Perjanjian Gianti dan Perjanjian Salatiga. Selanjutnya pada zaman Raffles daerah Yogya dipecah kembali menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

No Comments

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *