Pengaruh Perang Dunia I Terhadap Kehidupan Politik di Indonesia
Perang Dunia I yang meletus pada tahun 1914, pengaruhnya juga sampai di Indonesia. Sekalipun pemerintah Belanda menyatakan netral, tetapi pemerintah Hindia Belanda memusatkan perhatiannya pada pertahanan laut, dengan membangun pelabuhan-pelabuhan baru. Disadari pula tidak mungkin mempertahankan wilayah yang demikian luas, tanpa mengikutsertakan penduduk pribumi. Gagasan untuk mengikutsertakan pribumi dalam milisi sebagai pasukan nonreguler terkenal dengan sebutan Indie Weerbaar (Hindia yang berketahanan) lahir sebelum pecah perang dunia. Gagasan ini mula-mula didukung oleh kalangan militer tetapi setelah pecah Perang Dunia I gagasan itu ditinggalkan.
Budi Utomo sebagai organisasi Pergerakan Nasional menganjurkan agar kaum pribumi membantu keamanan Tanah Air sendiri. Anjuran ini mendapat tanggapan yang berbeda dari berbagai organisasi Pergerakan Nasional. Ada yang mendukung dan ada yang menolak. Pada bulan Juli 1916 dibentuk Comite Indie Weerbaar yang didukung oleh organisasi Pergerakan Nasional, namun demikian pemerintah Hindia Belanda tidak menyetujuinya. Dalam Perang Dunia I juga muncul tuntutan kepada pemerintah kolonial untuk mengadapak pembaharuan pemerintahan dan pembentukan lembaga perwakilan rakyat. Menanggapi tuntutan tersebut maka bulan Desember 1916 undang-undang pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) disahkan oleh Parlemen Hindia Belanda dan secara resmi membentuk Volksraad yang anggotanya dari wakil-wakil organisasi-organisasi di Indonesia dan juga perwakilan orang-orang Belanda.
Dalam perjalannya, Volksraad tidak mampu menampung aspirasi para anggotanya. Perjuangan mereka melalui dewan tersebut terasa kurang begitu diperhatikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Oleh karena itu, kepada pemerintah kolonial Belanda didesak untuk segera mengganti Volksraad dengan parlemen pilihan rakuat. Untuk memperkuat tuntutannya, partai-partai menggabungkan diri dalam organisasi Radikale Consentratie. Untuk meredakan situasi, pada sidang Volksraad tanggal 18 November 1918, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyampaikan pidato yang menjanjikan pembaharuan pemerintahan di Indonesia. Pidato gubernur jenderal ini dikenal sebagai Janji November atau November Belofte. Akan tetapi, setelah selesai Perang Dunia I pemerintah kolonial Hindia Belanda bersika lebih reaksioner.
Berakhirnya Perang Dunia I menimbulkan perasaan antikolonialisme dan antimperialisme pada bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika makin menonjol, lebih-lebih setelah adanya seruan Presiden Amerika Serikat, Wooldrow Wilson tentang hak menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa. Partai-partai politik di Indonesia dan perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda juga terpengaruh oleh situasi demikian. Kemantangan dalam perjuangan dan sikap keras yang diambil pemerintah kolonial Hindia Belanda menyebabkan sikap moderat makin ditinggalkan dan sikap radikal mkin menonjol. Sikap radikal ini ditandai oleh taktik nonkooperatif dari pihak partai-partai politik. Artinya, dalam memperjuangkan cita-citanya mereka tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda terutama di bidang politik. Semua hal yang diperlukan untuk mencapai cita-cita itu akan diusahakan sendiri, antara lain dengan memperkukuh persatuan nasional, memajukan pendidikan, dan meningkatkan kegiatan-kegiatan sosial untuk mensejahterakan rakyat. Mereka juga tidak mau memasuki dewan-dewan perwakilan yang dibentuk oleh pemerintah kolonial baik di pusat maupun di daerah.
Pengaruh atau Kondisi Ekonomi di Berbagai Daerah di Indonesia pada Masa antara Perang
Perang Dunia I mengakibatkan kehancuran ekonomi diberbagai negara-negara di Eropa dan kegoncangan perekonomian di dunia pada umumnya. Berakhirnya Perang Dunia I menyebabkan dunia mengalami depresi ekonomi termasuk pula di Indonesia. Di berbagai daerah banyak terjadi penjatahan beras terutama di kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Di sisi lain, upah buruh tidak mengalami perbaikan. Akibatnya, kehidupan rakyat dan kaum buruh sangat sulit.
Memasuki tahun 1920 kegiatan ekspor mulai menurun, dan setelah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1921. Akibatnya, kerugian besar diderita oleh perusahaan-perusahaan Barat yang beroperasi di Indonesia. Untuk mengadakan imbangan dan mengejar neraca surplus perdagangan, produksi barang ekspor seperti hasil perkebunan dan pertambangan diperbesar dan diperluas.
Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda tetap mendapatkan keuntungan besar seperti sebelum terjadi krisis. Untuk mengatasi biaya dan agar keuntungan tetap besar itu, pemerintah kolonial melakukan cara penghematan dalam anggaran belanja terutama untuk gaji pegawai, anggaran pendidikan, kesehatan, dan sosial yang semuanya langsung menyangkut kehidupan rakyat Indonesia. Pemecatan secara besar-besaran terhadap buruh Indonesia diberbagai perusahaan dan perkebunan menambah berat badan masyarakat Indonesia. Buruh-buruh yang dipecat itu kembali ke desa masing-masing tanpa penghasilan lagi. Mereka kemudian hidup menumpang pada sanak saudaranya yang sudah serba kekurangan di desa.
Kondisi ekonomi yang memburuk terus berlanjut dan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis besar dunia pada tahun 1929. Krisis tersebut juga berpengaruh langsung terhadap kehidupan ekonomi di Indonesia. Krisis ekonomi tersebut berkecamuk di seluruh wilayah Indonesia baik di kota maupun di desa dan merata dan dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat.
Tingkat kemakmuran rakyat pada tahun 1930-1933 sangat merosot. Berbagai harga bahan ekspor seperti, karet, kopra, lada, kopi, kulit, dan hasil hutan, maupun harga hasil bumi yang dijual di pasar dalam negeri seperti buah-buahan, bambu, beras, lada, dan bawang merosot hingga 60-71%.
Kemunduran yang besar dalam industri gula merupakan pukulan hebat. Kerugian tidak hanya dirasakan bagi perusahaan-perusahaan yang bersangkutan saja, tetapi juga bagi kemakmuran rakyat. Uang yang diedarkan dalam bentuk upah buruh pada tahun 1929 berjumlah 102 juta, tetapi dalam tahun 1934, jumlah tersebut berkurang menjadi 10 juta.
Krisis ekonomi dunia tahun 1929, menimpa Indonesia dengan amat hebat. Sebagai negeri penghasil ekspor bahan makanan dan bahan mentah, Indonesia menderita lebih parah akibat turunnya harga di pasaran dunia daripada negara-negara industri. Harga barang impor hasil pabrik tidak turun sedemikian banyaknya sehingga Indonesia harus mengeluarkan barang ekspor lebih banyak agar dapat memasukkan barang sebanyak seperti sebelum masa krisis.
Pengurangan jumlah tengara buruh berkebunan dan pertambangan menciptakan banyak pengangguran di Pulau Jawa dan daerah-daerah Indonesia lainnya. Hal ini mengakibatkan peningkatan kerusuhan dan kejahatan di berbagai daerah karena didorong oleh keadaan ekonomi yang sangat sulit.
Akibat dari krisis ekonomi, didaerah-daerah minus, seperti didaerah pegunungan kapur utara dan daerah Gunung Kidul banyak terjadi bencana kelaparan. Demikian juga di daerah tambang Umbilin (Sawah Lunto) nasip para buruh tambangnya lebih buruk lagi. Demikianlah keadaan ekonomi Indonesia selama masa krisis yang terjadi antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Untuk materi lebih lengkap tentang Perang Dunia dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Politik Global silahkan kunjungi link youtube berikut ini. Jikalau bermanfaat jangan lupa subscribe, like dan share.. Terimakasih
Related Posts
-
Faktor Penyebab Perang Dunia II
Tidak ada Komentar | Feb 27, 2022
-
Perang Dingin (Cold War)
Tidak ada Komentar | Jan 16, 2016
-
Timbulnya Nasionalime Mesir
Tidak ada Komentar | Sep 14, 2016
-
Perkembangan teknologi kapal selam pada PD I
Tidak ada Komentar | Agu 6, 2022
About The Author
doni setyawan
Mari berlomba lomba dalam kebaikan. Semoga isi dari blog ini membawa manfaat bagi para pengunjung blog. Terimakasih