Perbedaan Pendapat Soekarno dengan Moh Natsir

sukarnoPolemik antara kelompok Nasionalis Islam dan Naisonalis sekuler pernah terjadi pada tahun 1918 ketika komite untuk kebangsaan Jawa[1] (Comite Voor het Javanche Nasionalisme) mengecam kalangan Sarekat Islam dengan menandaskan bahwa politik dan agama haruslah dipisah, sedangkan pihak Sarekat Islam[2] menolak dengan mengatakan bahwa gerakan mereka adalah Islam Nasionalis. Perdebatan sengit terjadi menjelang dan setelah Indonesia merdeka, antara kelompok nasionalis sekuler dan kelompok nasionalis Islam. Kelompok nasionalis sekuler yang menghendaki pemisahan tegas antara agama negara diwakili Soekarno, Soepomo, Wongsonegoro, Muhammad Yamin. Kelompok nasionalis agamis menghendaki negara berdasar atas Islam yang diwakili oleh KH. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Ahmad Sanusi dan Kahar Muzakar. Namun usul ini tidak disetujui oleh forum.

Polemik tentang dasar negara dimulai pada tahun 1940, antara Soekarno dan Natsir mengenai antara hubungan negara dan agama. Soekarno berpendapat bahwa agama dan negara harus dipisahkan untuk kemajuan negara itu sendiri. Sedangkan menurut Natsir, agama dan negara tidak dapat dipisahkan, artinya agama harus diurus oleh negara, dan negara diurus berdasarkan ketentuan- ketentuan agama.

Pendapat Seokarno

Dalam Majalah Panji Islam pada tahun 1940, Soekarno menulis artikel panjang berjudul “Memudahkan pengertian Islam yang merupakan tanggapan terhadap artikel dalam majalah Adil dan Pandji Islam” mengenai Memperhatikan Gerakan Pemuda yang ditulis oleh KH Mas Mansur. Artikel Soekarno mengkritik kekolotan Islam sehingga memerlukan koreksi-koreksi terhadap berbagai pengertiannya. Artikel ini sebenarnya merupakan gugahan bagi umat IslamIndonesia untuk tidak bersikap fanatik, dan menyesuaikan Islam dengan berbagai kultur. Dikutip pula pernyataan Sajid Amir Ali bahwa hukum yang jempol haruslah seperti karet, dan kekaretan ini istimewa sekali pada hukum-hukum Islam. Hukum-hukum Islam bisa cocok dengan kemajuan.

Dalam artikel itu pula Soekarno menyinggung masalah hubungan agama dan negara dengan penekanan pada agama dan negara harus dipisahkan. Ketika mencontohkan Turki, Soekarno terkagum-kagum pada sikap negara tersebut dibawah pemerintahan Kemal Atturk tahun 1928 yang menghapuskan ketentuan konstitusi tentang kedudukan Islam sebagai agama negara dan menjadikan agama sebagai masalah perseorangan. Menurut Soekarno, dengan penghapusan itu bukan bearti bahwa Islam dihapuskan oleh Turki, melainkan diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri dan tidak diserahkan kepada negara.

Pendapat Moh Natsir

moh-natsirNatsir sebagai seorang nasionalis Islam merasa bertanggung jawab terhadap keberIslamanya. gagasan Soekarno tentang hubungan antara agama dan negara merupakan persoalan yang perlu direspon, tidak hanya melalui pendekatan ajaran agama, tetapi melalui pendekatan sosiohistoris. Hal ini Natsir merasa khawatir jika negara dilepaskan dari dimensi agama, kekuasaan negara akan menjadi seswenang-wenang, yaitu aktivitas politik dalam menyelanggarakan negara tidak mempertimbangkan nilai-nilai etis, akibatnya negara menjadi korup dan yang dirugikan adalah rakyat.

Kepentingan Natsir merespon gagasan Soekarno tentang hubungan antara agama dan negara, selain menginginkan adanya unsur etika dalam berpolitik. Natsir melihat bahwa Agama (Islam) merupakan alat yang dapat mempersatukan berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat, hal ini dilhami oleh bahwa dalam sejarah pergerakan politik di Indonesia, Islam sebagai kekuatan sosial politik mampu menggalang kekuatan untuk menghadapi Barat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sarikat Islam (SI) dibawah pimpinan Tjokroaminto.

Peran negara menurut Natsir diperlukan sebagai instrumen untuk mengaplikasikan hukum Islam. Tidak mungkin mengaplikasikan hukum islam seperti zakat diserahkan kepada individu. Jadi jelas perlunya peran negara atau pemerintah untuk mengaplikasikan hukum negara (Natsir dalam Purwoko, 2001: 34). Natsir mengkritik keras pandangan Soekarno tentang pemisahan agama dengan negara. Natsir meyakini perlunya membangun negara yang diinspirasikan oleh nilai- nilai Islam.

Ringkasnya, menurut Natsir,negara bukanlah suatu badan yang tersendiri yang menjadi tujuan. Negara bukan menjadi tujuan, tetapi sebagai alat. Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Islam. Yang menjadi tujuan ialah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Baik yang berkenaan dengan kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan kehidupan akhiran kelak

Perdebatan dasar negara dalam BPUPKI sepanjang menyangkut masalah dasar negara merupakan kelanjutan dari pertentangnan dua pemikiran yang masing masing diwakili oleh Soekarno-Natsir tahun 1939/1941 mengenai hubungan agama dan negara. Soekarno mewakili kaum nasionalis berpandangan bahwa agama dan negara harus dipisahkan sehingga dasar negara yang cocok bagi Indonesia adalah Kebangsaan(Pancasila), sebaliknya golongan Islam diwakili oleh Natsir berpandangan bahwa negara dan agama harus bersatu sehingga negara harus berdasarkan Islam. Dengan demikian perdebatan mengenai dasar negara tidak terlepas dari polemik Soekarno-Natsir

[1] Komite kebangsaan Jawa lahir karena peristiwa Jawi Hisworo yakni ketika pada tahun 1916 koran berbahasa Jawi “Jawi Hisworo” menghina Nabi Muhammad dengan mengatakannya sebagai pemabok dan penghisap candu, suatu sikap kemudian membangkitkan umat Islam untuk mengadakan pembelaan. Orang-orang Islam merasa terhina dengan artikel tersebut. Maka pada saat rapat di Surabaya Februari 1918, mereka marah pada penulis dan penerbit dan berharap pemerintah mengambil tindakan pada pelanggaran ktertiban dan kedamaian. Lalu muncul Tentara Nabi Muhammad yang bertujuan untuk mencari persatuan lair dan batin segenap umat muslim terutama yang bertempat tinggal di Hindia Belanda untuk menjaga dan melindungi kehormatan, Islam, Nabi Muhammad, dan kaum muslimin

[2] Sarekat Islam pada awalnya bernama Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi di Solo dalam rangka menggalang kekuataan pedagang Islam guna menghadapi persaingan dagang dengan pedagang lainnya. Kemudian nama SDI dirubah oleh HOS Cokroaminoto menjadi Sarekat Islam, hal ini untuk memperluas gerakan bukan hanya terbatas dalam kehidupan perdagangan akan tetapi meluas pada berbagai sector kehidupan lainnya.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *