Revolusi Mental Membangun Negeri

jokowiPada saat kampanye kemarin, kita sering mendengar kata-kata di atas. Revolusi mental, itulah yang selalu didengung dengungkan oleh salah satu capres, Joko Widodo. Jokowi, sering orang memanggilnya, berjanji akan melakukan revolusi mental terhadap negeri ini. Ketika kita sekolah dulu, kita sering mendengar gabungan dua kata ini kata “revolusi” dan “mental”. Pada pelajaran sejarah contohnya, ada yang namanya revolusi industri di Inggris, Revolusi Amerika, revolusi Perancis, revolusi Tiongkok dsb. Sebagian besar Revolusi di identikan dengan pertumpahan darah. Namun Indonesia membutuhkan satu revolusi yang tak berdarah dan mampu membawa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik dari yang kemarin. Revolusi di alam pikiran bangsa Indonesia.

Apa ada yang salah dari mental orang Indonesia sehingga membutuhkan revolusi?

Bangsa Indonesia sudah lama tertidur dalam dekapan kebodohan akibat adanya penjajahan. Bangsa penjajah mampu menanamkan rasa kerendahan diri kepada bangsa Indonesia. Mereka mampu membuat kita terperosok dalam lembah hitam. Kita menjadi Negara yang merasa inferior, kita hanya menjadi bangsa pengekor. Kita sudah mulai terlupa betapa hebatnya nenek moyang kita. Begitu tangguhnya mereka mengarungi lautan luas. Begitu luasnya wilayah dan sejahtera masyarakatnya. Bangsa Indonesia menjadi lupa, bahwa dulu ibu pertiwi menguasai negeri ini. Bangsa kita mungkin lupa kalau dulu kita mempunyai Majapahit yang berhasil menyatukan nusantara. Bangsa kita menjadi bangsa yang mudah lupa.

Setelah Indonesia merdeka hingga saat ini, apabila kita melangkah sudah jauh dari tempat awal kita berdiri. Jatuh bangun dalam membangun bangsa adalah hal yang sangat lumrah. Mengumpulkan beribu-ribu suku yang memiliki budaya yang berbeda bukanlah hal yang mudah dilakukan. Apabila dipaksakan pasti upaya persatuan akan sulit didapatkan, hal itulah yang pernah dialami Negara super power, Uni Soviet, yang awalnya terlihat kokoh pada akirnya roboh. Sejak merdeka hingga saat ini bangsa Indonesia tetap kokoh dan solid dalam satu bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semboyan yang menggelegar di angkasa, “Bhineka Tunggal Ika”. Upaya bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar harus dibangun dari tingkat bawah, yakni dari rakyatnya.

Revolusi mental yang ditawarkan oleh Jokowi adalah satu bentuk perlawanan terhadap segala apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Semenjak bangsa Indonesia melakukan reformasi 98, berbagai hal telah dilakukan bangsa Indonesia. Masih tertulis di buku sejarah SMA kita bagaimana tuntutan mahasiswa dalam reformasi yang terkenal dengan nama agenda reformasi, yang isinya antara lain adili Soeharto beserta kroni-kroninya, amandemen UUD 1945, lakukan dwifungsi ABRI, otonomi daerah seluas-luasnya, supremasi hukum dsb. Menurut Jokowi perombakan yang dilakukan selama ini hanya bersifat institusional belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building).

Nation building tidak mungkin maju kalau sekedar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusia yang menjalankan system. Sehebat apapun lembaga, kalau ditangani manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan Indonesia. Budaya-budaya orang terdahulu yang bersifat negative masih diterungkan hingga sekarang bahkan semakin menjadi. Kalau dulu korupsi sembunyi-sembunyi sekarang dengan terang-terangan mereka berani. Pejabat apa saja bisa korupsi baik dari kelas anggota DPR hingga menteri, dari kasus daging sapi hingga naik haji, dari menteri olahraga hingga menteri agama. Budaya KKN masih mengakar erat dalam benak segelintir pejabat di negeri ini.

Berbagai permasalahan yang dihadapi selain KKN, juga terdapat intoleransi terhadap perbedaan. Katanya bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang menghargai segala perbedaan. Akan tetapi akhir-akhir ini bangsa Indonesia menjadi bangsa bringas yang tidak menyukai adanya perbedaan. Acap kali darah mengalir dari sesama penduduk negeri ibu pertiwi. Padda dasarnya perbedaan adalah rahmat Tuhan, itulah yang tertuang dalam kitab suci. Perbedaaan adalah keindahan. Persoalan lainnya yaitu sifat rakus, ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan, hingga pelecehan terhadap hukum. Terkadang kita tidak bisa melihat yang mana yang benar dan yang salah. Benar terliat salah dan yang salah terlihat semakin salah.

Revolusi mental berupaya menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi sesuai dengan budaya nusantara, bersahaja dan berkesinambungan. Revolusi mental berbeda dengan revolusi fisik yang menggunakan pertumpahand darah. Revolusi mental yang akan diterapkan oleh Jokowi adalah dengan menggunakan konsep Trisakti yang pernah dicetuskan oleh Bung Karno yaitu dengan menggunakan tiga pilar, Indonesia yang berdaulat secara politik, Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan Indonesia yang berkepribadian secara social-budaya.

Dalam bidang politik harus ada perubahan paradigma mengenai politik, system politik yang akuntebel dan bersih dari KKN, dan birokrasi yang kapabel dan kompeten. Politik selama ini identik dengan hal-hal yang kotor, seperti menipu, membeli suara, korupsi dan praktik uang. Harus ada perubahan kita dalam memilih pemain politik yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan atau kedekatan dengan pengambil keputusan. Para pemain politik ini diharapkan benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat. Bukan sebagai pelayan dari partai politik atau golongan mereka. Mereka adalah hamba pengabdi pada rakyat. Selama ini mereka mengaku sebagai wakil rakyat. Ya pantas sajalah mereka yang mewakili rakyat dalam kehidupan yang bergelimang harta, mobil mewah, rumah megah, uang melimppah ruah. Sementara rakyat yang mereka wakili hidup segan matipun enggan.

Bidang politik perlu adanya kedaulatan dan ketahanan pangan, ketahanan energy, dan investasi diarahkan kepada lapangan kerja. Sebagai bangsa yang besar seharusnya kita merasa malu. Tanah yang katanya tanah surge ternyata belum mampu membuat penghuninya belum sejahtera. Secara ekonomi kita menjadi tamu di negeri sendiri. Semua produk penting merupakan hasil negara lain, hingga hal yang sepele yaitu garam kita masih impor dari negara lain. Pengelolaan hasil alam yang salahlah yang membuat semua ini bisa terjadi di tanah ibu pertiwi. Kebijakan ekonomi selama ini hanya mengedepankan kekuatan pasar sehingga tergantung pada modal asing. Ketahanan pangan dan energi mendapatkan sorotan lebih. Diharapkan dalam dua sector ini kedepannya bangsa Indonesia bisa berdikari, berdiri di atas kaki sendiri.

Yang terakhir adalah bidang sosial budaya. Era globalisasi telah membawa perubahan yang mengarah pada hilangnya sifat keindonesiaan. Seharusnya era globalisasi juga diimbangi dengan glokalisasi. Pikiran kita selama ini adalah segala sesuatu hal yang berhubungan dengan luar negeri lebih unggul daripada dalam negeri. Mindset seperti ini harus mulai dirubah. Cara merubahnya salah satunya melalui jalur pendidikan. Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama. Pendidikan karakter menjadi hal yang penting dalam dunia pendidikan dewasa ini. Selain itu juga harus ditingkatkan akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terpogram, terarah, dan tepat sasaran.

Ketiga poin itulah yang menjadi poin dari revolusi mental yang digagas oleh Jokowi. Perubahan bukan terletak pada lembaga atau instansi melainkan pada pemain yaitu manusia. Tidak cukup hanya menjadi manusia yang cerdas secara ilmu pengetahuan melainkan juga harus memiliki aklhak yang mulia. Oleh karena itu sepantas apabila pendidikan harus melahirkan generasi yang cerdas dan berkarakter kuat. Generasi yang menguasai IPTEK dan memiliki daya saing dengan negara lain serta memiliki identitas ke-indonesiaan yang kuat.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *