Teori Kekuasaan
|Pada tanggal 9 Desember 2015 akan dilaksanakan Pemilukada serentak di Indonesia. Ini merupakan momen pertama kali terjadi Pemilukada serentak. Pemilukada dilakukan serentak dengan pemikiran bahwa akan menghembat biaya pemilu. Pemilu identik dengan perebutan kekuasaan. Tidak jarang satu sama lain, meski dalam satu ikatan keluarga harus saling jegal mengalahkan satu dengan yang lainnya. Cara yang yang ditempuh dalam memperoleh kekuasaan juga berbeda-beda. Semua demi kekuasaan.
Definisi Kekuasaan
Harold D. Laswell (1984 : 9) berpendapat bahwa kekuasaan secara umum berarti ‘’kemampuan pelaku untuk memengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan’’. Sejalan dengan itu, dinyatakan Robert A. Dahl (1978 : 29) bahwa ‘’kekuasaan merujuk pada adanya kemampuan untuk memengaruhi dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu pihak kepada pihak lain’’.
“Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memengaruhi pikiran atau tingkah laku orang atau kelompok orang lain, sehingga orang yang dipengaruhi itu mau melakukan sesuatu yang sebetulnya orang itu enggan melakukannya. Bagian penting dari pengertian kekuasaan adalah syarat adanya keterpaksaan, yakni keterpaksaan pihak yang dipengaruhi untuk mengikuti pemikiran ataupun tingkah laku pihak yang memengaruhi “(Mochtar Mas’oed dan Nasikun, 1987 : 22).
“Kekuasaan merupakan suatu kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk memengaruhi perilaku pihak lain, sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang memengaruhi. Dalam pengertian yang lebih sempit, kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan, sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya dan masyarakat pada umumnya” (Ramlan Surbakti, 1992 : 58)
‘’Kekuasaan merupakan penggunaan sejumlah besar sumber daya (aset, kemampuan) untuk mendapat kepatuhan dan tingkah laku menyesuaikan dari orang lain’’ (Charles F. Andrain, 1992 : 130). Kekuasaan pada dasarnya dianggap sebagai suatu hubungan, karena pemegang kekuasaan menjalankan kontrol atas sejumlah orang lain. Pemegang kekuasaan bisa jadi seseorang individu atau sekelompok orang, demikian juga obyek kekuasaan bisa satu atau lebih dari satu.
Menurut Walter S. Jones (1993 : 3) kekuasaan dapat didefinisikan sebagai berikut :
1) Kekuasaan adalah alat aktor-aktor internasional untuk berhubungan satu dengan lainnya. Itu berarti kepemilikan, atau lebih tepat koleksi kepemilikan untuk menciptakan suatu kepemimpinan; 2) Kekuasaan bukanlah atribut politik alamiah melainkan produk sumber daya material (berwujud) dan tingkah laku (yang tidak berwujud) yang masing-masing menduduki posisi khusus dalam keseluruhan kekuasaan seluruh aktor; 3) Kekuasaan adalah salah satu sarana untuk menancapkan pengaruh atas aktor-aktor lainnya yang bersaing menggapai hasil yang paling sesuai dengan tujuan masing-masing; dan 4) Penggunaan kekuasaan secara rasional merupakan upaya untuk membentuk hasil dari peristiwa internasional untuk dapat mempertahankan atau menyempurnakan kepuasan aktor dalam lingkungan politik internasional.
Menurut Benedict Anderson (1972 : 48) kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konsep pemikiran barat dan konsep pemikiran Jawa. Menurutnya kekuasaan dalam konsep pemikiran Barat adalah abstrak, bersifat homogen, tidak ada batasnya, dan dapat dipersoalkan keabsahannya. Sedangkan kekuasaan menurut konsep Jawa adalah konkrit, bersifat homogen, jumlahnya terbatas atau tetap dan tidak mempersoalkan keabsahan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan sangat penting kedudukannya dalam masyarakat, dengan kekuasaan suatu kelompok dapat melakukan apa saja yang diinginkan dan dapat memengaruhi perbuatan-perbuatan kelompok lain agar taat dan patuh terhadap pemegang kekuasaan.
Cara memperoleh kekuasaan
“Kekuasaan bisa diperoleh dari kekerasan fisik (misalnya, seorang Polisi dapat memaksa penjahat untuk mengakui kejahatannya karena dari segi persenjataan polisi lebih kuat); pada kedudukan (misalnya, seorang komandan terhadap bawahannya, seorang atasan dapat memecat pegawainya); pada kekayaan (misalnya seorang pengusaha kaya dapat memengaruhi seorang politikus melalui kekayaannya); atau pada kepercayaan (misalnya, seorang pendeta terhadap umatnya)” (Miriam Budiardjo, 1982 : 36).
Menurut Haryanto (2005 : 22) kekuasaan dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu : (1) Dari kedudukan. Kedudukan dapat memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang karena yang bersangkutan menduduki posisi tadi. Semakin tinggi kedudukan maka akan semakin besar pula kekuasaan yang berada pada genggaman orang yang menduduki posisi tersebut. (2) Dari kepercayaan. Seseorang atau sekelompok orang dapat memiliki kekuasaan karena yang bersangkutan memang dipercaya untuk memilikinya atas dasar kepercayaan yang dianut masyarakat. Kekuasaan yang bersumber dari kepercayaan hanya muncul di masyarakat di mana anggota-anggotanya mempunyai kepercayaan yang dimiliki pemegang kekuasaan.
Cara mempertahankan kekuasaan
Kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang, sekelompok orang atau suatu negara terhadap pihak lain, dapat membuat penguasa tersebut berupaya untuk mencapai apa yang menjadi keinginan dan tujuannya. Cara untuk mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dengan cara damai, antara lain dengan demokrasi dan mencari dukungan pihak lain, atau dengan kekerasan, antara lain dengan penindasan dan memerangi pihak yang menentang kekuasaannya.
“Dalam masyarakat yang tidak demokratis atau masyarakat yang dipimpin oleh seorang yang diktator, penguasa mempertahankan kekuasaannya dengan paksaan. Di dalam masyarakat yang tidak demokratis, ada kecenderungan penguasa untuk masuk terlalu jauh dalam mengatur kehidupan dan kepercayaan serta pribadi warganya sesuai dengan keinginan penguasa. Dengan paksaan, warga ditujukan untuk patuh pada penguasa” (Haryanto, 2005 : 57).
“Diantara banyak bentuk kekuasaan, kekuasaan politik merupakan hal yang paling penting untuk dipertahankan, karena dengan kekuasaan politik, penguasa dapat memengaruhi kebijakan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan. Kekuasaan politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk mendapat ketaatan warga masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk memengaruhi tindakan dan aktivitas penguasa di bidang administratif, legislatif dan yudikatif “(Miriam Budiardjo, 1982 : 37).
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan, meskipun dalam mempertahankan kekuasaan ada berbagai macam cara, namun terdapat beberapa persamaan yaitu pihak satu ingin selalu memerintah pihak lain, ingin lebih tinggi dari pihak lain dan menginginkan ketaatan pihak lain.
Otoritas penguasa
“Penguasa adalah aktor yang memiliki, menguasai aktor lain dan memiliki sumber daya yang berwujud maupun tidak berwujud beserta asetnya untuk memengaruhi peristiwa-peristiwa yang terjadi agar sesuai kehendaknya” (Walter S. Jones, 1993 : 3) .‘’Penguasa adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk menjalin hubungan dan proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkannya’’ (Ossip K. Flechtheim dalam Miriam Budiarjo, 1982 : 35).
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa otoritas penguasa adalah hak, kekuasaan dan wewenang yang sah diberikan padanya untuk membuat peraturan yang harus ditaati atau diikuti pihak lain atau kekuasaan dan wewenang yang sah untuk membuat orang atau pihak lain bertindak sesuai dengan yang diinginkan penguasa.
Hancurnya Kekuasaan
Dalam pemikiran Ibnu Khaldun yang dikutip A. Rahman Zainuddin (1992 : 233) ada beberapa tahapan proses jatuhnya kekuasaan, yaitu : 1) Kekuasaan yang sentralistik, yaitu pemusatan kekuasaan dan kemegahan berada pada seorang atau sekelompok penguasa, 2) Kekuasaan yang mempunyai tata cara dan kebiasaan hidup dalam kemegahan, 3) Kekuasaan yang memiliki pertahanan lemah, tidak mempunyai kekuatan legitimasi. Sehingga tinggal menantikan kehancurannya.
Ibnu Khaldun menambahkan ciri sebuah kekuasaan yang mendekati kehancuran yaitu krisis ekonomi dan krisis moral. “Hancurnya kekuasaan tidak hanya disebabkan oleh faktor internal dalam kekuasaan itu sendiri, akan tetapi bisa dari faktor eksternal, antara lain karena peperangan yang melibatkan dua negara atau lebih, konflik dan perang saudara, kudeta (penggulingan kekuasaan) baik oleh militer maupun sipil dan aksi-aksi demonstrasi yang memungkinkan pergantian kekuasaan” (Mukhammad Najib, 2001 : 318).